Review Film Red Sparrow: Kisah Mata-Mata Tanpa Ledakan
A
A
A
JANGAN berharap Red Sparrow akan menjadi film ala James Bond versi tokoh perempuan atau mirip Atomic Blonde. Ini adalah film tentang agen mata-mata yang serius dan minim adegan laga.
Jika harus menyebut langsung, Red Sparrow bukanlah film yang mudah dan enak ditonton. Dalam arti, film ini tak mengikuti formula klasik film Hollywood, juga tak seperti kebanyakan film matamata buatan Hollywood lainnya yang suka main "hajar" dengan memenuhi durasi dengan adegan seru penuh baku hantam atau aksi tipu-tipu ala Mission: Impossible.
Sebaliknya, film ini bercerita dengan pelan-pelan, penuh kesabaran, sambil tetap menjaga rasa penasaran penonton. Durasi paruh pertama film hampir sepenuhnya dihabiskan untuk menceritakan latar belakang tokoh utamanya, Dominika Egorova (Jennifer Lawrence). Dia adalah balerina andal, yang karena dipaksa keadaan, akhirnya putar haluan menjadi agen matamata badan intelijen Rusia SVR.
Semuanya atas campur tangan pamannya, Ivan Dimitrevich Egorov (Matthias Schoenaerts) yang juga sebagai kepala deputi SVR. Sebelum diterjunkan ke lapangan, Dominika harus menjalani serangkaian pelatihan. Latihan fisik tentu diperlukan, tapi yang paling utama adalah latihan memanipulasi lawan jenis dengan menggunakan kekuatan paling purba; seksualitas.
Latihan ini begitu keras dan tanpa ampun, sampai-sampai Dominika murka kepada pamannya. "Engkau telah mengirimku ke rumah tunasusila," ujarnya dengan pelan namun dengan tatapan mata tegas, menyiratkan karakter Dominika yang dingin tapi kuat.
Sejak saat itu, dendam kesumat terpendam untuk pamannya itu. Lepas dari pelatihan, Dominika pun menjalani tugas pertamanya, yaitu memata-matai agen CIA Nate Nash (Joel Edgerton) yang akan menjalin kontak dengan pengkhianat Rusia. Di sisi lain, ada agen SVR lainnya yang mendapat kontak dengan orang Amerika yang akan menjual informasi kepada Rusia.
Sampai di sini, kesabaran dan kejernihan otak penonton pun akan diuji. Alih-alih melihat praktik Dominika mengandalkan tubuhnya untuk memanipulasi lawan seperti yang dengan detail dilihat penonton saat masa pelatihan, Red Sparrow malah menampilkan adegan-adegan yang mengajak penonton menebak-nebak jalan pikiran Dominika.
Tiap kali dia melakukan sesuatu yang tak lazim, maka otomatis penonton akan bertanya-tanya, apa sebenarnya yang direncanakan perempuan ini? Apakah dia akan setia pada Rusia, atau membelot ke Amerika? Ataukah dia hanya setia pada dirinya sendiri? Akting Jennifer Lawrence yang mumpuni, dengan ekspresi wajah datar yang sulit ditebak emosinya, membuat teka-teki makin sulit dipecahkan.
Hingga saat cerita terasa makin rumit dan bergerak liar, seolah ada pilihan untuk penonton; apakah menyerah saja dan mengikuti ke mana cerita membawanya, atau tetap menebak-nebak misi akhir Dominika. Di sela-sela itu, Red Sparrow yang ceritanya diadaptasi dari novel berjudul sama karya mantan agen CIA Jason Matthews (mungkin ini jawaban mengapa cerita filmnya berjalan lamban dan cukup dipenuhi detail), akan memberikan adegan-adegan penyiksaan brutal nan sadis yang mungkin bisa "meregangkan" dan "menghibur" penonton yang penat berpikir. Film ini bisa jadi memang bukan untuk semua orang.
Jika harus menyebut langsung, Red Sparrow bukanlah film yang mudah dan enak ditonton. Dalam arti, film ini tak mengikuti formula klasik film Hollywood, juga tak seperti kebanyakan film matamata buatan Hollywood lainnya yang suka main "hajar" dengan memenuhi durasi dengan adegan seru penuh baku hantam atau aksi tipu-tipu ala Mission: Impossible.
Sebaliknya, film ini bercerita dengan pelan-pelan, penuh kesabaran, sambil tetap menjaga rasa penasaran penonton. Durasi paruh pertama film hampir sepenuhnya dihabiskan untuk menceritakan latar belakang tokoh utamanya, Dominika Egorova (Jennifer Lawrence). Dia adalah balerina andal, yang karena dipaksa keadaan, akhirnya putar haluan menjadi agen matamata badan intelijen Rusia SVR.
Semuanya atas campur tangan pamannya, Ivan Dimitrevich Egorov (Matthias Schoenaerts) yang juga sebagai kepala deputi SVR. Sebelum diterjunkan ke lapangan, Dominika harus menjalani serangkaian pelatihan. Latihan fisik tentu diperlukan, tapi yang paling utama adalah latihan memanipulasi lawan jenis dengan menggunakan kekuatan paling purba; seksualitas.
Latihan ini begitu keras dan tanpa ampun, sampai-sampai Dominika murka kepada pamannya. "Engkau telah mengirimku ke rumah tunasusila," ujarnya dengan pelan namun dengan tatapan mata tegas, menyiratkan karakter Dominika yang dingin tapi kuat.
Sejak saat itu, dendam kesumat terpendam untuk pamannya itu. Lepas dari pelatihan, Dominika pun menjalani tugas pertamanya, yaitu memata-matai agen CIA Nate Nash (Joel Edgerton) yang akan menjalin kontak dengan pengkhianat Rusia. Di sisi lain, ada agen SVR lainnya yang mendapat kontak dengan orang Amerika yang akan menjual informasi kepada Rusia.
Sampai di sini, kesabaran dan kejernihan otak penonton pun akan diuji. Alih-alih melihat praktik Dominika mengandalkan tubuhnya untuk memanipulasi lawan seperti yang dengan detail dilihat penonton saat masa pelatihan, Red Sparrow malah menampilkan adegan-adegan yang mengajak penonton menebak-nebak jalan pikiran Dominika.
Tiap kali dia melakukan sesuatu yang tak lazim, maka otomatis penonton akan bertanya-tanya, apa sebenarnya yang direncanakan perempuan ini? Apakah dia akan setia pada Rusia, atau membelot ke Amerika? Ataukah dia hanya setia pada dirinya sendiri? Akting Jennifer Lawrence yang mumpuni, dengan ekspresi wajah datar yang sulit ditebak emosinya, membuat teka-teki makin sulit dipecahkan.
Hingga saat cerita terasa makin rumit dan bergerak liar, seolah ada pilihan untuk penonton; apakah menyerah saja dan mengikuti ke mana cerita membawanya, atau tetap menebak-nebak misi akhir Dominika. Di sela-sela itu, Red Sparrow yang ceritanya diadaptasi dari novel berjudul sama karya mantan agen CIA Jason Matthews (mungkin ini jawaban mengapa cerita filmnya berjalan lamban dan cukup dipenuhi detail), akan memberikan adegan-adegan penyiksaan brutal nan sadis yang mungkin bisa "meregangkan" dan "menghibur" penonton yang penat berpikir. Film ini bisa jadi memang bukan untuk semua orang.
(amm)